Fight đŸ”„

Season Review tipis-tipis, omongan transfer tipis-tipis

Sepertinya saya perlu terima kenyataan kalo cuman ada energi buat nulis ketika ada long weekend. Mungkin ini tulisan paling random dan topiknya loncat-loncat. ✌ 

Jadi tuh di musim baru ini sebetulnya udah punya banyak plan buat ngonten. Ada Instagram yang mulai diurus. Lebih banyak main di visual.

Kemarin juga sempat collab sama Raisha, untuk bikin tulisan pengalaman di Emirates, dan punya plan untuk collab sama teman-teman lain, tapi nggak sempat nyiapin sampai sekarang.

Lalu, beberapa hal bikin saya jadi “Yah yaudah lah, ga usah dikerjain”

  • Capek bro, nonton bola tiap 3 hari, begadang, dikerjain wasit, dll. Kan nggak ada yang suruh nulis, ya saya nggak usah nulis aja

  • Begadang bikin nggak fit, kerjaan lagi 2-3x lebih banyak. Gampang sakit

  • Jadi ya udah, nonton mah nonton aja. Habis itu buka Twitter bentar, terus udah bye. Grup-grup Arsenal di WhatsApp sama Telegram juga nggak pernah dibuka

Kenapa saya di awal curhat begini? Karena kalau saya mah, kalau capek, puyeng, tinggal pilih buat nggak nulis apa-apa. Beres. Toh bukan kerjaan utama saya.

Tapi, kalo Arsenal


Tapi kalo Arsenal, kan nggak mungkin ya, biarpun pemain lagi pada cedera — Sekaligus & Bergantian, bisa milih buat nggak ngejalanin pertandingan.

Biarpun diuji dari kiri-kanan-atas-bawah, the show must go on.

This is tough. Super super tough.

Pressing Masih Kuat, Biarpun Jadwal Lagi Padat-padatnya

Dari segala situasi itu, saya sempat khawatir. Takutnya, karena kondisi menjaga kebugaran akan sangat ditantang, imbasnya di lapangan kita jadi kendor. Pressing jadi lebih longgar, lebih gampang diserang lawan, dan lain sebagainya.

Tapi ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Di bulan Januari, lebih spesifiknya ketika Havertz mulai balik dari sakit, malahan tren rata-rata pressing kita nggak jatuh, bahkan cenderung lebih sangar.

Jadi, saya ngambil angka dari markstatsbot, di situ dijelaskan soal “Danger Zone Losses”, yang sedikit-banyak bisa mengira-ngira efektivitas pressing.

  • Definisi: “It tracks possession losses in the 'danger zone,' a 50-meter radius around the own goal, and highlights the shirt numbers of players who misplaced passes, made bad touches, or were dispossessed”

  • Interpretasi: Ketika lawan kita punya “Danger Zone Losses” yang tinggi, tandanya mereka membuat kesalahan di area sendiri, yang seringkali dipengaruhi oleh pressing. ://x.com/markrstats/status/1830426284125802855

Kalau lihat di grafik ini, ketika rolling average dari 5 match terakhir kita jembrengin dari awal musim, ada sedikit peningkatan dalam pressing.

Bukan berarti tim bermain lebih baik. Namun, dengan keterbatasan personel, cara main Arsenal yang memang kerap melakukan pressing tinggi nggak terganggu.

Kalau ada yang bilang fighting spirit dan mental kita bagus (Orang itu adalah saya), sepertinya itu nggak berlebihan.

Ketika kita bertahan juga sama. Dengan orientasi kontrol pada possession dan pressing tinggi, biasanya zona main akan cenderung di setengah lapangan, memaksa lawan untuk low-block. Jadinya, potensi kita hilang bola di area berbahaya juga lebih minim.

Saya coba ilustrasikan contohnya: Bahkan di posisi 10 vs 11, kalau ada kesempatan press tinggi, bakal dilakukan. Menurut saya, ini sih risikonya tinggi. Havertz press Bueno ke arah bek kanan, sehingga opsi operan Bueno tinggal ke sisi kanan.

Saya pikir Bueno bisa kasih bola ke Agbadou, via backpass ke Jose Sa. Namun, pressing dari Havertz sangat spartan di hari itu. Di akhir match, Havertz terlihat tumbang — Kita akan bahas dikit Havertz nanti, dikit. Kita tau, lini serang adalah topik yang paling sering disorot kalau ngomongin Arsenal.

Jadi biarpun sisi itu kosong, Bueno tidak keburu berpikir panjang dan akhirnya bola lambung ke sisi kanan. Dipotong Calafiori di duel udara. Possession balik ke Arsenal.

Tapi, tapi, tapi

Pressing saja nggak akan menentukan menang-kalah suatu pertandingan.

Oke lah, kita bisa lihat di grafik dari DataAnalyticEPL ini cocok sama temuan yang di atas. Intinya, kita adalah salah satu tim terbaik dalam melakukan pressing dan membuat lawan banyak bertahan di area sendiri. Dominasi teritori.

Tapi


Kalau sudah sering nonton bola, kadang kita suka melihat, peluang itu terjadi bisa dalam beberapa detik, sentuhan yang minim, dan gerakan yang simpel namun efektif.

Ada satu visualisasi data lagi yang menunjukkan: Efisiensi kita di kotak penalty sendiri maupun kotak penalty lawan nggak sedominan dominasi kita pada teritori.

Artinya, ketika kita pegang bola, interpretasinya adalah:

  • Ketika kita sedang bertahan, ada indikasi bahwa proses serangan lawan (Sekalinya lawan pegang bola sampai kotak penalty kita) akan cenderung berakhir dalam peluang menembak

  • Ketika kita sedang menyerang, jumlah tembakan kita bukan yang terbanyak dibanding tim lain. Sehingga kalau dibuat persentase, jadi rendah ketika membandingkan jumlah tembakan vs jumlah pegang bola

Sebetulnya kalau dipikir-pikir, “wajar” kalau sekalinya lawan bisa menembus sampai kotak penalty, mereka punya kesempatan lebih banyak untuk menembak.

Soalnya, ketika kita pressing tinggi, di belakang akan sisa 3 pemain. Gabriel, Saliba, dan tergantung siapa full-back yang lagi turun.

Ketika bola bisa dialirkan lawan, utamanya lewat transisi fase bertahan ke menyerang, kemungkinan akan ada situasi 3 vs 3. Berarti mostly akan man-to-man dan jangan sampai sekali-kali kalah duel.

Misalnya di FA Cup, gol Bruno Fernandes terjadi ketika Myles Lewis-Skelly kalah duel dengan Dalot, kemudian Gabriel juga skip, hingga menciptakan situasi 2 vs 3 di depan gawang sendiri.

Anyway.

Kalau masih ingat, di Desember kita ada periode saat kemasukan gol berturut-turut dengan xG kecil. Jimenez (vs Fulham, A), Sarr (vs Palace, A), Mbeumo (vs Brentford, A), dan lain-lain (Lupa).

Sekilas, saya rasa itu memang keberuntungan dari lawan. Namun, saya rasa ada beberapa pattern dari permainan kita yang mempengaruhi, sehingga kesannya “Gak beruntung, tapi kok berkali-kali?”

Kayaknya ini juga mempengaruhi visualisasi data di atas.

Ada satu gejala yang membuat saya agak panik kalau lagi nonton Arsenal: Ketika sedang diserang, namun fullback kita harus membuat keputusan cepat antara A atau B.

Maksudnya gimana?

Coba saya breakdown kembali proses gol tersebut, sepemahaman saya:

  • Bola dialirkan dari ESR ke Kenny Tete

  • Timber, sedang turun ke area pertahanan, ada di jarak antara: a) menutup jalur operan, atau b) bersiaga sewaktu-waktu Tete lari ke sayap kanan, atau c)

  • Tete punya space yang sangat leluasa untuk membuat keputusan, dan ia mengoper bola ke Jimenez lewat titik buta Kiwior

  • Jimenez jadi harus dijaga 2 orang. Saliba dan Kiwior. Timing keduanya saya rasa sudah kalah selangkah. Timber sudah salah langkah. ESR masih bisa membuat pergerakan yang berbahaya. Iwobi mengambil gap antara Saliba dan Partey. Partey juga dilema antara Iwobi & Robinson. Lagi-lagi dilema

  • Ternyata, Jimenez menembak dengan yakin. Tidak terlalu kencang tapi tidak bisa dijangkau Raya

Tiap situasi seperti itu, kalau terjadi lagi, saya bakal super deg-degan. Apalagi kelihatannya bola masih jauh dari gawang, namun karena rentetan kejadian seperti di atas, tiba-tiba bola sudah akan ditembakkan ke gawang kita.

  • Brentford (A) → Ødegaard hilang bola. Damsgaard kasih bola ke Mbeumo lewat belakang Calafiori. Mbeumo dengan cerdik masuk ke ruang antara Gabriel dan Calafiori dan menempatkan bola di tiang dekat. Karena Mbeumo berlari di tepi kotak penalty, Calafiori lebih memilih menutup jalur tembak alih-alih berduel dengan Mbeumo

  • Palace (A) → Saya rasa ini nggak perlu banyak penjelasan. Mitchell bisa kasih bola ke Sarr yang berlari bebas ketika Partey tidak sempat memindahkan penjagaan dari Kamada ke Sarr (Saya rasa harusnya sempat sih, Mitchell opernya nggak cepat-cepat amat). Terjadilah setelahnya gol dari xG yang minim ketika bola masuk saat Sarr dibayangi Saliba & Partey

  • Aston Villa (H) → (Gol Tielemans) — Ini mirip di gol Fulham di mana Partey punya dilema untuk menjaga area kotak penalty lebih compact, atau untuk menghalau Digne. Akhirnya keduanya nggak dapat. Challenge ke Digne tanggung, Timber juga jadi melebar. Akibatnya, ada space yang dimanfaatkan Tielemans yang beradu lari dengan Merino. Duh. đŸ€Ż 

Jadi ingat scene ini di All or Nothing. Sepertinya kalau ini dijalankan terus boleh juga

Ada juga kejadian-kejadian di set piece defending, seperti gol Newcastle (Isak, segera setelah Jacob Murphy bisa lolos, dia udah siap di posisi) di Carabao Cup, gol Leicester (James Justin, saat Havertz nggak sinkron menjaga garis offside) — Beberapa yang saya ingat.

Makanya, saya sih nggak heran kalau lini pertahanan itu terus diperbaharui kedalamannya di setiap bursa transfer.

Karena walaupun saat ini kita adalah salah satu tim dengan jumlah kebobolan & xG conceded paling sedikit di PL, akan selalu ada ruang untuk improve.

Mana gol-nya?

Saya selalu punya pendapat pribadi, ada tiga hal yang bikin sentimen penonton terhadap serangan Arsenal itu boring dan lini serangnya tumpul, walaupun jumlah gol kita nggak malu-maluin amat sebenarnya (Nomor 5 di PL).

  • Sumber gol utama bukan penyerang tengah yang biasa berlari kencang, gocek-gocek, intinya hal-hal yang flashy

  • Setiap ada gol dari corner / situasi set piece lainnya, ada kesan kalau gol seperti ini “nggak murni gol”

  • Karena banyaknya gol dari situasi set piece yang prosesnya dimulai dari posisi diam / lambat / bukan pergerakan dinamis, maka daya hiburnya jadi berkurang dibanding gol-gol yang prosesnya lebih cepat transisinya

Ya, tapi mau gimana lagi kan? Toh itu yang efektif kita lakukan, jadi ya akan dicoba terus. Walaupun saya harus sepakat kalau ada yang bilang cara menyerang kita bukan yang paling menghibur.

Soal menghibur, jadi teringat sama satu gol favorit saya, yang malahan terjadinya bukan saat musim berjalan, melainkan saat main di Emirates Cup lawan Bayer Leverkusen (Gol kedua. Trossard).

Ini secara proses bukan hanya menghibur—at least for me, tapi juga meng-highlight strategi untuk mencapai gol tersebut.

Ini adalah gol favorit saya sepanjang musim
 Kalau mau ngitung preseason. 😂

Kesampingkan dulu kalau ini friendly, lawan masih belum balik ke match fitness, atau konteks lainnya.

Saya merasa ini gol yang harusnya “by design” untuk Arsenal bikin ini berkali-kali. Pressing tinggi, sukses merebut bola di area lawan, Ødegaard mengatur timing oper bola, pemain penyerang kompak masuk kotak penalty.

Rapi, tapi tetap bisa memfasilitasi situasi chaos — Misalnya di gol Trossard, ia berada di posisi enak untuk menembak, tapi bisa menggocek lawan dulu supaya lebih pasti.

Harapannya, ini adalah situasi yang sangat ideal untuk diciptakan dan bisa diulang terus menerus, karena ini berhubungan juga dengan gaya main untuk press tinggi.

Sebenarnya, situasi gol ideal nggak selalu harus dari pressing tinggi juga.

Saya menangkap idenya adalah untuk menciptakan situasi di mana bola bisa dialirkan ketika 3-4 pemain sudah siap berlari masuk ke kotak penalty, lalu kita menciptakan koordinasi yang berbuah gol.

Contoh, dari match vs Sporting (A) - UCL

Jadi kurang lebih begini contohnya. Apa pun metodenya, intinya kita bisa dapat celah untuk kirim bola saat 3-4 pemain berada di kotak penalty lawan.

Nah, masalahnya


Kita balik ke urusan pressing tinggi dulu.

Di data visualisasi ini, terlihat bahwa persentase “Turnover” kita menuju shot itu nggak bagus-bagus amat. Jadi, di situasi Leverkusen yang saya jabarkan di atas, nggak banyak yang bisa berbuah shooting ke gawang lawan.

Padahal, pressing adalah hal mendasar dari cara main kita. Sayang aja kalau kita malah kesulitan di area ini.

Situasi yang kita harapkan terulang, rupanya masih belum selancar itu. Kira-kira kenapa ya? Coba ah, cek contoh dari pertandingan lawan Aston Villa (H).

Yang seperti ini, nggak terjadi sekali dua-kali. Ketika melihat ulang situasi ini, ada beberapa hal yang meluncur di kepala saya, semuanya asumsi:

  • Kenapa Ødegaard ga langsung kasih Trossard ya?

  • Apakah memang sesimpel dia nggak ngeh aja?

  • Atau dia memang pengen supaya bola naik ke Martinelli, terus Trossard yang finishing? Seperti gol vs Sporting—btw, itu kalau passing-nya mulus ke Martinelli, memang bisa berpeluang sih. Cuman passing-nya overhit, si Martinelli-nya juga dibayangi dua orang pas terima bola

  • Atau dia memastikan Partey juga naik ke kotak penalty? Minimal biar Onana sama Maatsen ada distraksi. Ah, entah lah

Namun, asumsi di kepala saya itu bermuara di satu pertanyaan: Apa iya, kita perlu bikin situasinya sangat ideal dulu buat bisa bikin gol?

Karena gini, kalau melihat dua gol lawan Leverkusen dan Sporting yang saya referensikan tadi, kira-kira begini penampakan di lapangan sebelum jadi gol.

Jadi, poin saya adalah
 Sepertinya cara kita main dengan set piece maupun open play tidak jauh berbeda. Intinya, kita memanipulasi keadaan di lapangan sedemikian rupa, sehingga bisa mendapat kondisi paling optimal untuk mencetak gol.

Di set piece, mungkin bisa lebih diatur, karena ada “pause” sebelum memulai set piece. Namun, dalam open play, situasinya bisa lebih random.

Asumsi saya: Mungkin memang sudah jadi SOP kalau menerima bola, harus bikin situasi tertentu, kalau belum kejadian, oper-oper, bergerak, dan delay sampai celah itu terbuka.

Karena sistem ini sangat menekankan pada posisi dan pergerakan, saya merasa sebenarnya hal paling penting dalam memastikan sistem ini berjalan dengan semestinya bukan hanya shooting dan finishing yang baik



Tapi juga pemahaman taktik yang baik untuk tahu harus bergerak ke mana di setiap situasi, dan fisik yang kuat untuk tidak berhenti bergerak sambil berpikir.

Kai Havertz

Ketika kita bicara pemain dengan pemahaman taktik yang baik dan fisik yang kuat, tentu saya akan mereferensikan Kai Havertz.

Soal pergerakan tanpa bola, Havertz ini rutin dalam membuat gerakan-gerakan lari yang terlihat simpel, tapi efektif dalam set-up peluang pemain-pemain kita.

Ini yang mungkin kita harus nonton beberapa kali untuk lebih jeli menyadari ini. Soalnya, Havertz bukan tipe pemain dengan umpan seperti Ødegaard atau Jorginho atau Xhaka. Seringkali Havertz jadi sasaran kritik karena kombinasi dengan penyerang sisi kiri yang dirasa kurang, terutama dengan Martinelli.

Namun ternyata, ada cara lain untuk berkombinasi selain dengan operan-operan. Gerakan lari untuk menggeser posisi lawan juga adalah bentuk kombinasi dan komunikasi antarpemain di lapangan.

Kai Havertz, Striker? — Goonerburger, 2024

Soal Kai Havertz, tentu ini akan menjadi topik hangat karena saat tulisan ini dibuat, kita sedang ada di dalam bursa transfer Januari. Semua orang minta striker baru. Mengingat tipisnya skuad saat ini, sudah jadi konsensus lah itu.

Satu lagi, Havertz juga disorot karena momen melewatkan peluang emas, terutama saat melawan Newcastle di Carabao Cup dan Manchester United di FA Cup. Kejadian ini menebalkan pembicaraan bahwa kualitas lini serang Arsenal saat ini tidak cukup baik, dan biang keroknya adalah Havertz.

Saya cukup yakin akan bilang, biang keroknya bukan Havertz. Yes, he missed those chances and it’s very frustrating. But never the root cause.

  • Tadi saya sudah singgung cara kita mendapatkan kesempatan untuk shoot adalah dengan “memanipulasi” situasi lapangan sehingga kita menang jumlah di kotak penalty lawan

  • Maka, sebetulnya untuk bisa memanfaatkan situasi tersebut, bukan finishing yang luar biasa yang diperlukan. Finishing rata-rata juga nggak masalah, asal bisa ada di posisi yang pas ketika waktunya tiba. That’s Kai Havertz’ strength

Tentu saja finishing Havertz di beberapa match cukup bikin khawatir. Ada memang beberapa yang keterlaluan, “Ya masa nggak masuk sih
” Begitu pikir saya.

Tapi saya tetap yakin ada issue lain yang harus diselesaikan selain finishing.

Coba cek di data FBRef ini, diambil dari semua pemain di Big 5 European League (Per 29 Januari 2025).

  • Havertz ada di urutan 43 dalam jumlah shot, namun efisiensinya bisa diadu dengan striker papan atas pada list. Lihat G/Sh [Goal/Shot] dan [Goal/Shot on Target]

  • Yang menariknya. Dist [Shot Distance - Jarak nge-shoot] Havertz yang paling dekat di antara semua penyerang lain pada list di atas

Interpretasi saya adalah:

  • Konversi sepantaran sama striker top. Tapi jumlah shot cuma di peringkat 43. Kalau saya dikasih lihat catatan seperti ini, ibaratnya kalau Havertz itu sales, closingan-nya masih oke, tapi leads-nya kering


  • Berarti kan saya akan bertanya, ke mana leads-nya ini?

  • Yang saya simpulkan, melihat tren saat ini di mana dominasi teritori melalui pressing masih bagus, dan konversi gol Havertz sampai saat ini masih bisa setara striker papan atas, maka tentu yang akan saya butuhkan adalah bagaimana caranya mengkonversi dominasi pressing menjadi peluang bersih

P.s. Dengan absennya Saka dan Ødegaard, lihatlah heatmap Havertz
 Jauh lebih sibuk. Kalo masih pake analogi sales, dia juga yang cari leads, dia juga yang closing 😅 

Help for the Attackers: Transfer Window

Kalau ditarik lebih jauh, kok saya ada dugaan kalau isu saat ini adalah kecenderungan para pemain untuk mengikuti sistem secara penuh.

Tentu, ini nggak jelek. Malah harus banget ngikutin sistem. Karena itu adalah sumber dari kemampuan kita untuk mendominasi lapangan setiap main.

Tapi, seperti yang sudah saya bahas, ada situasi alternatif yang akan lebih menguntungkan kalau sekali-sekali bikin ‘gebrakan’ di lapangan. Havertz juga akan jadi lebih simpel pekerjaannya.

Ada beberapa cabang solusi yang kepikiran:

1) Bikin situasi yang lebih cepat untuk mencapai posisi optimal untuk bikin gol, sampai-sampai lawan nggak sempat bereaksi untuk bertahan

Ini maksudnya gimana? Biasanya kan, kita akan coba untuk mengoper pelan-pelan, sambil bergerak dan bikin celah.

Tapi bisa juga


Tadi kita lihat Ødegaard mencoba untuk memosisikan diri sedemikian rupa sehingga bola bisa dioper ke sayap kanan. Di sini, Rice punya ide yang berbeda. Tiba-tiba, ia melaju dengan bola, lalu sepersekian detik membuat ada posisi 4 penyerang di kotak penalty.

Lalu, bisa dilihat kembali ketika Rice sudah hampir sampai kotak penalty, Havertz, Trossard, dan Martinelli menyesuaikan pergerakannya untuk menyerang kotak penalty.

Soal Rice, sudah saya tulis juga di Mei lalu.

Rice tetap ada dalam kontrol bola walaupun sedang bergerak maju ke depan. Istilahnya, bola tidak ditinggal dan kawan-kawannya bisa bergerak menyesuaikan giringan Rice untuk memberi support. 

Karena bisa dibilang lebih aman buat membawa bola ke depan, mungkin itu juga yang jadi penyebab Rice lebih produktif dari Partey maupun Xhaka (Di luar assist-nya dari corner). Sedekat mungkin dengan gawang → Lebih besar peluang untuk mengancam gawang lawan.

Declan Rice — Goonerburger, 2024

Bukan cuma Rice. Ada Timber, MLS, Nwaneri yang juga ada kalanya melakukan “Power-Carry” a la Rice. Saya rasa, tim harus encourage cara-cara yang rada “ngawur” tapi pada akhirnya bisa berakhir di situasi 3-4 orang berada di kotak penalty untuk siap menerima bola.

Bayangan saya, untuk konteks transfer window, kita punya satu tipe seperti ini di sayap. Lalu kebayang juga Ødegaard atau Jorginho yang mengatur tempo pemain tersebut — habis carry bola, itu bola harus dibawa ke mana. Karena kita juga cenderung untuk main via sayap, jadi elemen kejutannya ditaruh di sana.

Sepertinya, bagian ini bisa diisi oleh pemain yang potensial, tidak harus yang udah sangat matang. Karena yang kita kejar adalah kemampuan yang spesifik. (Think of Vieira-type transfer, but better — Walau perjalanannya tidak mulus. sebagai pengumpan, dia yang terbaik di skuad)

2) Ada inisiatif yang nggak umum, misalnya ngegocek di ruang sempit atau ngeshoot tiba-tiba (Saka đŸ„Č )

Intinya sih, cara main yang “nakal” dan “sotoy”, tapi yakin karena dia punya modal untuk mendukung gaya main tersebut. Ketika saya menulis bagian ini, tentu jadi ingat gol Saka vs Nottingham Forest
 Tidak ada celah, kecuali kalau itu untuk Bukayo Saka.

Intinya, pemain pembeda yang bisa memenangkan match dengan usahanya dia sendiri.

Dalam konteks bursa transfer, ini mengacu pada penyerang papan atas yang mungkin akan lebih dikejar di Summer Transfer.

Siapa pun di Top 5 di list ini, I’m in.

Ketika tulisan ini dibuat, kita sedang dihubungkan dengan Sverre Nypan dan Mathys Tel. Saya nggak akan pura-pura udah nonton mereka dengan detail. Jadi nggak banyak insight yang bisa saya berikan selain: Saya udah nonton cuplikan mereka di berbagai kompilasi.

Kira-kira begini review dalam satu paragraf. Apakah kalau benar jadi, mereka bisa langsung kasih impact? Nggak tahu.

Tapi, kesan saya, walaupun masih di bawah 20 tahun, mereka sudah ready untuk main di game senior di Big 5 European Leagues, dan bisa membantu untuk jadi solusi nomor 1 di atas. Nomor 2, not so sure. We will see. Jadi aja dulu, baru mikir lagi.

  • Nypan → Operannya kayak Ødegaard, cara dia ambil langkah untuk feint juga ada mirip-miripnya. Tapi, kadang mainnya one touch dan gerak ke kotak penalty, lebih mirip ke Bellingham (?). Two footed, quick thinker.

  • Tel → Bahaya ketika dalam situasi transisi, instingnya ada, berani juga ambil shooting yang “ngawur” dan yakin.

Ternyata scouting selama ini adalah dengan main FM

Well


Ada kemungkinan juga bahwa kita akan bertaruh di Februari dan Maret dengan komposisi yang ada sekarang, sambil berharap tidak ada cedera baru dan menunggu Saka kembali di Maret. Jadwal Februari dan Maret tidak sepadat Januari. Mungkin jadi pertimbangan juga.

Melihat track record kita yang pernah tidak ragu melewatkan transfer window demi target jangka panjang, saya rasa itu juga suatu kemungkinan


My personal opinion: Kita perlu pemain baru. Striker or winger, doesn’t matter. Kualitas tentu tidak boleh kompromi. Kemudian yang paling penting adalah kemampuan sang pemain untuk memberikan “warna” baru baik secara permainan di lapangan maupun kepribadian (Think of Calafiori). Itu saya pikir akan membantu pemain yang mungkin sudah lelah dan rada mumet.

TL;DR

Season Review: Arsenal, dengan segala keterbatasannya, mampu mempertahankan cara main yang mengutamakan dominasi teritori di lapangan, dan perbaikan pada aspek spesifik bertahan di area fullback, serta perbaikan pada aspek variasi cara penciptaan peluang, adalah hal yang saya kepikiran untuk mengarungi sisa musim

Transfer Window: I don’t know
 Just wait for something to happen. Tapi yang saya terbayang
 Realistisnya di Januari ini, pemain baru yang datang harus berani “bandel” buat mainin sesuatu di luar pakem, dan pemain yang lebih senior harus menjaga dia supaya pergerakannya nggak sia-sia.

Fighting Spirit

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya mau share Tweet yang saya buat setelah main lawan Brighton Away:

Jadi, cerita dari match ini adalah
 Havertz masih sakit, Ødegaard + Martinelli nggak 100% fit, tapi masuk bench. Kita main pakai front three Trossard - Jesus - Nwaneri.

Nwaneri baru 2 kali starter Premier League dan cetak gol pertama saat itu, semangat dong! Tapi, dia harus ditarik di babak 2 karena cedera. đŸ„Č 

Waktu saya nonton, kan saya belum tahu ya kalau Nwaneri cedera, jadi berasumsi kalau memang ini tim memang kecapekan dan Nwaneri ditarik keluar untuk jaga-jaga + udah dapat kartu kuning juga saat itu.

Saya melihat, pertandingannya benar-benar sulit kita kontrol. Martinelli dan Ødegaard yang masuk di babak ke-2 tidak bisa berbuat banyak. Walaupun begitu, Brighton hanya bisa membuat satu tembakan spekulasi di babak ke-2 sebelum dihantam penalty Joao Pedro. (😡)

Dengan segala keterbatasan, tentu kualitas tim secara keseluruhan akan menurun. Dominasi teritori melalui pressing juga tidak sebaik biasanya. Namun, kita tetap melakukan apa yang kita bisa untuk memenangkan pertandingan itu.

Sampai pada akhirnya ada effort yang tidak bisa kita kontrol, jadi hantaman buat kita...

Saat full-time, saya melihat banyak kritik di mana Arsenal main tanpa determinasi yang cukup untuk memenangkan pertandingan, tapi saya justru melihat fighting spirit kita lebih menyala saat itu.

Sebagai fans, mungkin mental kita nggak sekuat tim yang menjalankan di lapangan. Tapi saya berharap semoga tim ini selalu bisa menaikkan fighting spirit-nya dengan berbagai cara. Semoga salah satunya dengan tambahan pemain baru, hehe.

#COYG