Arsenal dan Luka Piala Dunia

Piala dunia 2022 menguras mental banyak pemain. Arsenal, bisa kelola luka setelahnya?

ā€œThere are two kinds of people who don’t experience painful emotions such as anxiety or disappointment, sadness, envy: ā€˜The psychopaths and the dead.ā€

— Tal Ben-Shahar, Psikolog. Dikutip dari FirstRoundReview

Main bola itu aslinya sederhana. Masuk lapangan, main. Ada yang menang, ada yang kalah. Selesai.

Walaupun itu Piala Dunia 2022, a game is a game.

Buat yang nonton (saya, kamu, kita), mungkin akan ada emosi yang terasa. Senang, sedih, marah, kecewa. Namun, semua itu akan tersapu seiring hidup berjalan.

Beda buat yang main, perasaan itu bisa lebih awet menempel di kepala mereka. All the highest highs and lowest lows.

Ini yang sepertinya nggak begitu sederhana.

šŸŽ¢ The Emotional Rollercoaster in 1998

Kita putar waktu ke 24 tahun lalu, saat dunia ini masih diberikan berkah untuk menyaksikan Dennis Bergkamp di lapangan hijau secara langsung.

Salah satu karya seni terbaik Bergkamp adalah pertandingan Piala Dunia 1998. Perempat Final, Belanda vs Argentina

Gol masterpiece yang tercipta dari 3 proses tingkat tinggi yang dibuat seakan terlihat mudah. Kontrol umpan jauh, nutmeg, dan finshing kaki kanan yang… Mmh, sedap!

ā€œThat’s my top goal, I think. Also because of everything around it. It’s a goal that gets us to the semi-final of the World Cup, a massive stadium, lots of people watching and cheering... My reaction afterwards was very emotional.ā€™ā€

ā€œI didn’t know what else to do! It’s funny. Every boy has a dream: ā€œI want to score in the World Cup.ā€

Score the winning goal in the final, of course. But in this way... to score a goal like that, in my style?

The way I score goals, on that stage, in a game that really means something, because that’s important to me, too...

I love good football, nice football, but it has to mean something.

It has to ā€œbring me somewhere.

And that’s what happened with this goal.

At that moment I thought about when I was seven or eight years old, playing football in the street outside my home. This is the moment! It’s a good feeling.ā€

— Stillness and Speed: My Story, Dennis Bergkamp

Dalam bukunya, Bergkamp menceritakan dengan detail apa yang ia rasa saat gol itu tercipta.

Mulai dari rasa hampir-hampir tidak percaya karena bisa bikin gol di Piala Dunia, sampai mengingat kembali apa yang membuatnya menekuni sepakbola.

A lot of emotions. 

Kisah bergulir, pertandingan berlanjut ke Semi Final. Kali ini Belanda harus takluk dari Brazil dalam drama adu penalti.

Bergkamp sendiri sebagai eksekutor kedua berhasil menceploskan bola ke gawang Argentina, namun Philip Cocu dan Ronald de Boer tidak dapat meneruskan perannya. Belanda tersingkir di Semi Final.

ā€œI started the game well but as it went on I could feel the strength draining from my legs.

I felt I had just enough power left if an opportunity came my way, but it didn’t happen.

I was shattered, but adrenaline kept me alert and, in the shootout, I scored my penalty.

I got very upset with the penalties. Ronald [de Boer] just slowed down, slowed down... it’s not the way I would have taken it. Cocu missed as well, but he put it in the corner, I felt, and it was a good save.

But I was distraught. I felt a whole range of emotions, but you didn’t see it.

I kept it all deep inside.ā€

— Stillness and Speed: My Story, Dennis Bergkamp

Seperti halnya momen emosional yang terjadi ketika menang, rasa kekalahan akan merayap dan menjalar-jalar di isi kepala menjadi banyak bentuk, dan sulit untuk dilepas.

Dalam kelanjutan di bukunya, Bergkamp kembali mengungkapkan rasa penyesalannya setelah memutuskan pensiun dari timnas selepas Euro 2000 (Di usia 31)

ā€œWe do have fantastic players.

But sometimes I feel you need a bit less of the same, you know? We are all technical players, all thinking, playing football, all passing the ball, doing it in a good way.

But sometimes you need a defender who just puts it in the stand, or just takes pleasure in his striker not scoring.

And upfront, as well, we needed to be more clinical sometimes.

You need to have differences in a mental way as well. But, yeah, it’s so disappointing. We should have won one of those tournaments.ā€

— Stillness and Speed: My Story, Dennis Bergkamp

Penyesalan itu bisa dilepas dan dikubur, tetapi tidak sepenuhnya hilang.

āœˆļø Manusia-manusia yang Kembali dari Qatar

Kembali ke Piala Dunia 2022. Dengan total 832 pemain dari 32 negara, hanya ada satu tim & 26 pemain yang akan kembali dengan label ā€œJuara Duniaā€

Berarti, ada 806 manusia yang sudah pasti akan membawa pulang kekecewaan dari perjuangan di Qatar.

Beberapa dari mereka, adalah pemain Arsenal yang (seharusnya sih) kita dukung.

Saya mencoba sedikit saja memahami bagaimana rasanya berada di posisi mereka. Betapa terkurasnya fisik, dan terutama mental, di gelaran Piala Dunia akhir tahun ini.

Di awal musim main dengan jadwal yang hampir-hampir main 3 hari sekali + Jeda seminggu sebelum & sesudah Piala Dunia.

Dari awal datang dengan kondisi kelelahan fisik yang bertumpuk, namun tetap datang membawa yang terbaik karena mimpi & semangatnya untuk Piala Dunia mengalahkan apa pun juga, termasuk kebutuhan jeda istirahat.

Ketika semua sudah berakhir (& ditutup kegagalan melangkah lebih jauh di Piala Dunia), kelelahan fisik & mental itu bertumpuk, untuk kemudian terkonversi menjadi bermacam-macam emosi.

Belum lagi kalau pulang membawa cedera. 🄲 (Back stronger, Jesus!)

Belum lagi kalau bicara masalah di luar sepakbola & membuat segala fokus harus teralih ke sana. (Glad you’re back training with us, Ben!)

Sedikit menyelami apa yang dikatakan pemain kita setelah meninggalkan Piala Dunia:

Takehiro Tomiyasu šŸ‡ÆšŸ‡µ, setelah kalah dari Kroasia di 16 Besar: Merasa nggak puas dan sangat-sangat bisa lebih baik buat menang. Juga bilang ā€œButuh rehat & mau lupain sepakbola dulu.ā€

ā€œI can’t be proud, I am not satisfied about what happened. This is football and we need to be much, much better to win against a stronger team.ā€

ā€œI don’t know,ā€ he said when asked about joining the rest of Mikel Arteta’s squad. ā€œHopefully, I can get a bit of rest. I need time to forget about football. I need a bit of time.ā€

— Takehiro Tomiyasu interview with The Athletic

Matt Turner šŸ‡ŗšŸ‡ø, setelah kalah dari Belanda di 16 Besar: Merasa nggak memanfaatkan peluang yang ada dengan sebaik-baiknya, dan itu harga yang harus dibayar dengan berakhirnya perjalanan di Piala Dunia.

"It’s frustrating, we definitely feel like we left something on the table, but you also have to give credit where credit is due.

They have some great players, and they made us pay for our small mistakes."

— Matt Turner interview with FOX Soccer

Granit Xhaka šŸ‡ØšŸ‡­, setelah kalah dari Portugal di 16 Besar: Langsung mengalihkan fokusnya pada sesuatu yang ia ingin achieve di tempat lain, Arsenal. Juga berusaha gimana caranya: ā€œLupain Piala Dunia ini!ā€

ā€œOf course, emotionally it is not easy. But this is part of our business, part of football,ā€ said Xhaka after losing to Portugal.

ā€œYou have to recover well. The Premier League is waiting and, of course, I wanted to be here longer than this. But we lost the game today and I am happy to go back now with the team.

ā€œI have something to achieve there, and I know the team is in Dubai at the moment doing the pre-season.

ā€œI’m flying back to Dubai, going back to the team, and going back to the training and trying to forget the tournament now.ā€

— Granit Xhaka, interview with Evening Standard 

Dari tiga pemain Arsenal yang sudah pulang dari Piala Dunia & meluapkan sedikit isi hatinya dalam wawancara, kita dapat dua kata kunci penting:

  • Rasa penyesalan, dan

  • Ingin melupakan kejadian itu

Lalu, apa yang ditampakkan masing-masing individu bisa jauh berbeda. Contohnya, Tomiyasu yang blak-blakan bilang ā€œButuh rehat & lupain sepakbola duluā€ dan Xhaka yang mau cepat ganti fokus dan bilang ā€œAda yang mau saya achieve di Arsenal.ā€

Output-nya jauh berbeda, tapi saya duga keduanya datang dari penyesalan yang dalam.

Membekas dan tidak bisa dihapus begitu saja.

Apalagi, dalam merespons kegagalan, ada dua hal yang sering menyelinap masuk di kepala kita tanpa permisi:

  • Rasa ingin menyalahkan diri sendiri: Berpikir bahwa ā€œI am not good enough,ā€ dan merasa semua kegagalan yang diemban tim karena kesalahannya

  • ā€œWhat if scenarioā€ di kepala: ā€œSeandainya waktu itu aku gak begini, gak begituā€, masih terus mengingat-ingat kegagalan masa lampau dan berpikir ā€œGimana ya jadinya kalau aku lakukan yang beda?ā€

Ujung-ujungnya: Jadi terlalu keras ke diri sendiri.

Dengan pemain-pemain yang ā€œstate of mindā€-nya lagi terombang-ambing. Kira-kira ini bakal ngaruh ke atmosfer tim secara keseluruhan nggak, ya?

Ini PR besar buat Manager kita.

šŸ  Arsenal Jadi Tempat Pulang. Bisa?

Piala Dunia ini membawa damage buat pemain yang menjalankannya. Kira-kira, apa klub sudah siap menata ulang fisik & mental para pemain yang terdampak?

Menjaga mood tim supaya bisa tetap stabil untuk mencapai goal bersama adalah salah satu seni menjadi Manager.

Mengelola situasi supaya damage dari Piala Dunia nggak jadi penghalang dalam mengarungi sisa musim.

Untuk itu, Manager harus peka buat benar-benar ngurai kepala-kepala timnya yang lagi pada kusut dan terombang-ambing.

ā€œPsychologists who study stress have identified three primary factors that make us feel awful: a lack of control, unpredictability, and the perception that things are getting worse. In other words: uncertainty.ā€

— Big Feelings: How to Be Okay When Things Are Not Okay by Liz Fosslien and Mollie West Duffy’

Jadi gimana cara menangani situasi menjaga mentalitas tim?

Saya akan coba kutip 2 insight yang saya rasa paling relevan dari FirstRoundReview, lalu mencoba meraba-raba, kira-kira sudah sejauh mana Arsenal melakukan ini?

#1 Membantu Anggota Tim untuk ā€œCurhatā€

  • Melakukan dialog 1-on-1 dengan masing-masing pemain setelah balik lagi bareng Arsenal

  • Dari hasil dialog itu, menyimpulkan seperti apa kira-kira ā€œmoodā€ di antara tim

  • Yang terpenting: Memastikan tim untuk terbuka dan nggak memendam masalah. Apalagi sampai denial kalau ā€œlagi nggak baik-baik ajaā€

#2 Membuat ā€œCollective Ritualsā€: Menyegarkan Suasana + Menekankan Kebersamaan

ā€œWhen everything feels up in the air, rituals can help us ground ourselves.

Studies show that habits can go a long way towards reducing our stress levels.

In fact, psychologists have found that it doesn’t even matter what the ritual is — simply doing the same thing at the same time can improve your mental health.ā€

— Liz Fosslien, Author of Big Feelings: How to Be Okay When Things Are Not Okay.

Dengan ā€œCollective Ritualā€, minimal ada fokus baru yang sedikit mengalihkan pikiran-pikiran sebelumnya.

  • Bikin kebiasaan yang unik dan cuma ada di Arsenal. Supaya ada simbol keterikatan sama tim

  • Bikin satu kegiatan besar yang melibatkan semua pemain. Bisa setahun sekali atau setahun dua kali, bebas lah atur aja

Kalau dari yang terlihat, kita bisa sedikit meraba-raba usaha Arsenal dalam menjaga mentalitas dan kekompakan tim.

Terutama setelah hajatan Piala Dunia yang sangat-sangat menguras mental.

Tentu banyak sekali hal-hal yang kita nggak tau behind the scenes. Namun, saya memilih untuk percaya bahwa tim ini nggak akan tinggal diam & melakukan business as usual.

Pasti ada adjustment di sana-sini, demi lebih dekat ke tujuan bersama sebagai tim.

šŸ™ The Least I Can Do…

…and maybe you want to do it to. Or maybe not.

Semua elemen di tim sedang bekerja keras untuk memastikan bahwa Arsenal akan tetap berlari kencang di lanjutan musim 2022/23, walaupun ada kendala di sana-sini.

Menciptakan safe space buat para pemain kembali fokus 100% berkontribusi di Arsenal.

Mendukung pemain supaya bisa menerima keadaan, mood-nya cepat balik dan benar-benar bisa melupakan apa yang terjadi di Piala Dunia.

Walaupun cuma sangat-sangat sedikit, saya rasa saya bisa berkontribusi buat nggak nambah-nambahin beban pemain: Tahan julid-julid di media sosial. Kubur dalam-dalam teori konspirasi yang nakal mampir di kepala. 

Ada chance walaupun cuma 0.0000001% bahwa tulisan yang kita publish di Internet akan sampai ke pemain, dan malah makin bikin mereka banyak pikiran.

Foto di atas kan sama kayak…

Saya bikin salah atau gagal di studi/kerjaan, terus teman-teman yang saya kira akan dukung saya…

Rupanya ngomongin saya di grup WhatsApp yang saya nggak di-invite. Atau bikin teori-teori khayalan tentang kenapa kerjaan saya nggak berhasil.

Dah lah. šŸ™ƒ

Terakhir, saya ingin meneruskan pesan Arsene Wenger.

Beliau bilang bahwa motivasi aja nggak cukup, motivasi yang konsisten. Itu kuncinya.

Makanya tim ini nge-push usaha mereka buat ngejaga terus semangat tim kita

#COYG

ā€œWhen you look at people who are successful,

you will find that they aren't the people who are motivated,

but have consistency in their motivation.ā€

— Arsene Wenger